Revitalisasi Prinsip Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi di Indonesia (II)

Poster Melek Asuransi 2009 by ~yuvenz

Poster Melek Asuransi 2009 by ~yuvenz

Kenneth Arrow, seorang penerima nobel ekonomi mengatakan bahwa “dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika kita dapat mengasuransikan seluruh k

emungkinan dimasa depan”[1]. Peran besar asuransi dalam kehidupan masyarakat sudah selayaknya dirasakan oleh setiap pihak. Prinsip utmost good faith sebagai pilar utama asuransi akan menjadi penentu utama dalam realisasi manfaat asuransi.

Akan dibahas secara berkesinambungan subtansi perjanjian asuransi di I

ndonesia dan peran vital prinsip utmost good faith didalamnya. Selain itu akan dipaparkan bentuk – bentuk pelanggaran prinsip utmost good faith dalam lingkup Indonesia beserta akibat hukum dan penyelesaiannya.

A.     Perjanjian Asuransi

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, perjanjian diatur dalam buku ketiga dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864 tentang perikatan. Pasal – pasal tersebut tidak secara spesifik mengatur mengenai perjanjian akan tetapi mengenai perikatan. Hubungan antara perjanjian dan perikatan memang tidak dapat dipisahkan, karena perjanjian menimbulkan adanya perikatan sehingga menjadi sumber perikatan. Maka dari itu dikenal adanya syarat – syarat sebagai penentu sah tidaknya suatu perjanjian. Hal tersebut diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yakni:

1.      Sepakat mereka yang mengingkatkan diri

2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3.      Mengenai suatu hal tertentu

4.      Suatu sebab yang halal

Syarat terakhir sebagaimana disebut pula sebagai syarat objektif adalah adanya sebab yang halal, yang mengacu pada isi perjanjian yang dibuat para pihak. Khusus untuk perjanjian asuransi, menurut pendapat Herman Susetyo, prinsip utmost good faith dapat dimasukkan sebagai syarat sahnya perjanjian.[2]

Oleh karena itu asuransi sebagai suatu kontrak/perjanjian pertanggungan resiko antara tertanggung dan penanggung memiliki hubungan yang sangat erat dengan perjanjian. Hal ini dipertegas dalam Pasal 246 Kitab Undang – Undang Hukum Dagang yang menjelaskan pengertian asuransi, yakni :

“suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memerika pernggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu persitiwa yang tidak tentu”.

belajarhukumindonesia.blogspot.com

belajarhukumindonesia.blogspot.com

Adapun dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perusahaan Perasuransian, menyatakan bahwa asuransi adalah :

“perjanjian antara dua pihak atau lebih, yaitu pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kersauakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul akibat suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Perjanjian sebagai landasan asuransi secara mutatis mutandis mensyaratkan diterapkannya prinsip – prinsip perjanjian dalam setiap kontrak asuransi. Terlebih adapula prinsip – prinsip yang menjadi landasan asuransi tersendiri dan tidak dikenal dalam perjanjian lainnya, seperti :

  1. Prinsip indemnity, dimana tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita. Hal ini dikecualikan pada asuransi jiwa dimana penanggung akan membayar penuh uang asuransi yang telah dperjanjikan tanpa memandang berpa kerugian nyata yang telah terjadi.
  2. Prinsip subrogation, prinsip ini berkaitan dengan suatu keadaan dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dari kesalahan pihak ketiga. Dengan kata lain, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka penanggung, setelah memberikan ganti rugi pada tertanggung, akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut. Prinsip juga tidak berlaku pada asuransi jiwa.
  3. Prinsip contribution, prinsip ini menegaskan bahwa apabila perusahaan asuransi telah membayar ganti rugi  yang menjadi hak tertanggung, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan asuransi lain yang terlibat dalam proyek tersebut untuk membayar bagian kerugiam sesuai dengan prinsip kontribusi.
  4. Prinsip insurable interest, berarti tertanggung dalam perjanjian asuransi mempunyai suatu kepentingan yang dapat diasuransikan.
  5. Prinsip utmost good faith, prinsip ini mengharuskan tertanggung untuk memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan serta tidak mengambil untung dari asuransi. Prinsip ini juga berlaku bagi perusahaan asuransi, yaitu kewajiban menjelaskan resiko yang dijamin maupun yang dikecualikan secara jelas dan teliti.

[2] Hartono Bronto, opcit, hal: 14

Leave a comment